Selasa, 29 Desember 2015

MAKALAH



ANALISIS PERBANDINGAN NOVEL PENGAKUAN PARIYEM
DAN NOVEL GADIS PANTAI
Oleh : Iánatul Khikmah

PENDAHULUAN
Sastra adalah aktifitas bahasa yang membicarakan sesuatu hal berarti hal yang lain. Istilah sastra yang kita kenal berhubungan dengan institusi, karya sastra, dan ilmu sastra. Namun demikian, sebenarnya ketiga bidang tersebut saling berhubungan dan berurusan dengan karya sastra. Institusi seperti jurusan sastra dan fakultas sastra mendidik mahasiswa untuk belajar sastra. Kegiatan mahasiswa tersebut berhubungan dengan ilmu sastra dan karya sastra(Teguh Supriyanto,2011:08).
Sastra sebagai ekspresi seni bahasa yang selain menjadi refleksi bagi seseorang juga mampu menjadikan perubahan-perubahan, baik perubahan arah bangsa untuk menjadi lebih baik juga mampu menjadi inspirasi ataupun motivasi untuk mampu melakukan perubahan kearah sosial budaya yang menitik beratkan masyarakat.
Karya sastra yang kita tahu sangat banyak sekali. Namun perlu kita ketahui bahwa didalam karya sastra juga terdapat beberapa unsur-unsur yang memperkuat cerita didalamnya. Selain unsur-unsur dalam karya sastra juga terdapat persamaan dan perbedaan dari masing-masing karya sastra.
Dari paparan yang ada di atas, penulis bermaksud akan membandingkan  karya sastra berbentuk novel dengan judul “Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi dan novel “Gadis Pantai” karya Pramoedya Ananta Toer. Dari perbandingan kedual novel tersebut diharapkan dapat diketahui perbandingan keduanya baik dari segi motif cerita, unsur-unsur pembangun yang ada dalam cerita maupun dimensi dalam novel tersebut.
LANDASAN TEORITIS
            Sastra dalam perkembangannya terbagi dalam dua bentuk yaitu sastra lisan dan sastra tulis. Didalam membandingkan karya sastra baik dua karya sastra atau lebih bisa menggunakan teori sastra( Sukadaryanto,2010:99 ).
            Pada hakikatnya, sastra perbandingan adalah membandingkan antara dua karya sastra atau lebih dalam kurun waktu yang berbeda atau dalam waktu yang bersamaan. Sastra perbandingan masih termasuk dalam wilayah kritik sastra. Dalam memperbandingkan karya-karya sastra ini adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam karya sastra tersebut ( Sukadaryanto,2010:101 ).
            Suatu penelitian akan selalu menggunakan pendekatan. Menurut Abrams ( dalam Teeuw, 1988:49-50) memahami karya sastra dapat melalui empat pendekatan, yaitu : (1) pendekatan ekspresif, (2) pendekatan objektif, (3) pendekatan mietik, dan (4) pendekatan pragmatik.
            Riffaterre (1978:11) menyatakan bahwa teks baru bermakna penuh jika dikaitkan dengan konteks kesejarahan yang sering kali berhubungan dengan teks lain melalui hubungan yang disebut hypogram. Disamping faktor kesejarahan, kutipan Kristeva dan Riffaterre tersebut menyiratkan pentingnya peran pembaca dalam pemaknaan.
Pemahaman mengenai dunia interteks ini bukan hanya terbatas pada dunia sastra. Yang dimaksud teks ini adalah persoalan hidup dan kehidupan di masyarakat. Karya sastra merupakan interteks dari beberapa teks yang ada sebelum karya sastra itu tercipta. Teks-teks itu memberikan kontribusi pada alam piker pengarang, untuk ditampilkan pada karyanya, sebab teks-teks sebelumnya ini merupakan suatu bentuk inspirasi yang akan melahirkan karya sastra(Sukadaryanto,2010:7).
Dalam sudut pandang pembaca, Kristeva (Culler, 1975:139; lihat pula Teew,1984:146) memandang bahwa teks sastra terjadi karena kutipan-kutipan ( intertekstual ) dari teks-teks lain. Teks baru dapat dipahami jika pembaca mampu membaca teks-teks yang ada dalam teks itu, atau dalam istilah Riffaterre (1978) jika pembaca mampu menemukan hipogram daari teks itu serta idologi-ideologi apa saja yang ada dalam teks (Teguh Supriyanto,2010:39-40).
Dunia intertekstual selalu mewarnai perkembangan dalam warna kehidupan sastra. Leih kuat lagi bahwa unsur-unsur pembangun karya sastra itu masih memiliki benang merah dengan karya sastra yang lahir sebelumnya.
Kemasan di dalam interteks selalu beraneka ragam dan akan diselaraskan dengan situasi keberadaan karya sastra itu. Perkembangan itu akan tampak pada penggunaan bahasa, model penceritaan, konsep-konsep, dan ideology pada karya sastra yang lahir kemudian. Prinsip intertekstual itu ada karena didasari oleh adanya pengaruh teks-teks yang lahir sebelumnya dan menjadikan pijakan untuk terciptanya karya sastra. Pengaruh ini sangat kuat dan tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip intertekstual selalu mewarnai kelahiran karya sastra berikutnya(Sukadaryanto,2010:7-8).

Untuk memahami teks sastra, langkah paling awal adalah melakukan analisis terhadap teks.
Ada beberapa metode analisis, namun disini penulis menggunakan metode struktural semiotik. Metode ini sebenarnya adalah metode semiotik yang menggunakan prinsip-prinsip struktural untuk memperoleh analisis semendetail mungkin. Istilah pendekatan ini dalam sastra Indonesia dimunculkan oleh Pradopo (1993). Asumsi dasar metode ini adalah bahwa karya sastra merupakan bangun struktur yang masing-masing unsurnya saling kait mengkait. Oleh karena itu, untuk memahami keseluruhan teks harus dipahami bagian demi bagian dalam keterjalinan semendetail mungkin.
            Metode perbandingan yang penulis gunakan adalah metode perbandingan Sinkronik. Metode ini penulis gunakan karena antara novel Pengakuan Pariyem dan novel Gadis Pantai memiliki periode yang sama. Hal tersebut dibuktikan didalam cerita dari kedua novel tersebut sama-sama menekankan terhadap masa yang mana unsur dari Budaya Jawa itu sendiri masih kental.

HYPOGRAM DAN TRANSFORMASI
Hypogram dari teks cerita novel yang dibandingkan adalah novel Gadis Pantai. Berikut kutipannya:
 “Bendoro sibuk sekali, Mas Nganten. Bendoro Bupati bakalnya kawin lagi dengan putri kraton Solo. Kasihan mendiang Den-ajeng Tini. Siapa lebih berani dari beliau? Menghadapi Belanda mana saja tidak takut. Pembesar-pembesar sendiri pada hormat.”
“juga Gadis Pantai sekarang tahu siapa Den-ajeng Tini. Kartini yang beberapa tahun yang lalu dalam bendi agung memasuki perbatasan kota, dan semua penduduk disuruh lurah menyambutnya sepanjang jalan, dengan bendera tiga warna kertas berkibaran ditangan coklat hitam mereka”.(Gadis pantai,hal:70-71).
Novel Gadis Pantai dijadikan sebagai Hipogramnya karena perjalanan ceritanya mengarah pada masa abad ke 19-an yang mana dibuktikan dengan keadaan bahwa pada masa itu R.A Kartini masih hidup dalam beberapa tahun sebelumnya dari cerita tersebut. Sedangkan teks yang berkedudukan sebagai Transformasinya adalah novel Pengakuan Pariyem. Pada novel pengakuan hanya disinggung segi kebudayaan jawa dan lokasi cerita yang mendominasi di Kraton, namun tidak disinggung mengenai keadaan yang menyatakan usia dari cerita tersebut.
ANALISIS PERBANDINGAN
NOVEL PENGAKUAN PARIYEM DAN NOVEL GADIS PANTAI

Berikut ini adalah motif cerita yang ada dalam novel Pengakuan Pariyem
Ø  Pengembaraan
Dalam novel ini pengembaraan digambarkan yaitu sosok pariyem yang dari Wonosari Gunung Kidul pergi ke Ngayogyakarta dan menjadi babu di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta. Ada salah satu tokoh lagi yang digambarkan yaitu Kliwon. Kliwon yang juga berasal dari Wonosari tapi kini mengubah nasibnya ke Jakarta. Dibuktikan dengan kutipan prosa lirik berikut.
“. . .Macul pekerjaan sehari-harinya
Sekolah tamat sampai SD saja
Tapi kini tinggal di kota jutaan jakarta . . .”

Ø  Pengakuan
Pariyem yang awalnya takut mengatakan bahwa ia telah melakukan hubungan dengan anak majikannya dan sampai hamil, namun karena saat itu ia tiba-tiba muntah dan majikannya menanyakan apa yang sedang dirasakan oleh pariyem, akhirnya pariyem sedikit demi sedikit mengatakan apa yang telah terjadi.
Kutipan prosa liriknya sebagai berikut(hal 181- hal 182)
“ Kowe sayang sama wiwit to, yu
Saya pun sayang sama yu pariyem
Katakan, yu, lelaki yang menggaulimu
Nanti yu iyem saya bela, tanggung!
 …………………………...........
Sebagaimana nDoro putri percaya sama saya
Demikianpun saya blaka sama nDoro putri
Saya hanya menyebut nama panggilan……”

Ø  Pengabdian
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono pariyem telah melakukan 3k (karsa, kerja, dan karya), melakukan 3L (lirih, laras, dan lurus), dan walaupun saat itu ia telah mengandung dan melahirkan anak dari majikannya dan yang mana dia menjadi bagian dari keluarga itu, tapi ia tetap menjalankan pekerjaannya yaitu menjadi babu di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta.

Ø  Amanat
“….Pengakuan adalah bahasa masa lalu
Tindakan adalah bahasa masa kini
Hidup tak cukup dengan pengakuan
Tetapi perlu kerja yang dihayati
Dengan pengakuan dan dengan tindakan
Semua laku yang menyimpan hikmah asasi…”

Ini adalah salah satu kutipan yang dikatakan oleh nDoro kanjeng yang merupakan majikan dari pariyem ketika mengetahui hal yang telah dilakukan oleh babu dan anaknya sendiri yaitu Ario.
·         Berikut ini adalah motif cerita yang ada dalam novel Gadis Pantai
Ø  Pengembaraan
“Emak membuang muka, melalui jendela dokar ke arah laut yang menghidupinya sepanjang umur. Tak mampu ia nyatakan, ia menangis melihat anaknya keluar selamat dari kampung nelayan jadi wanita terhormat, tak perlu berkeringat, tak perlu berlari-larian mengangkat ikan jemuran bila rintik hujan mulai membasuh bumi”(Gadis Pantai hal 14)

Hal ini merupakan bagian kutipan ketika Gadis Pantai menikah dengan seorang Priyayi yang bernama Bendoro dan kemudian meninggalkan kampung halamannya untuk tinggal bersama dengan suaminya.
Ø  Paksaan
Ini adalah beberapa kutipan dalam novel Gadis Pantai yang menggambarkan suasana saat ia akan dinikahkan dengan bendoro
  “Sst. Jangan nangis. Jangan nangis. Hari ini kau jadi istri pembesar”.
Ia tak tahu apa yang dihadapannya. Ia hanya tahu ia kehilangan seluruh hidupnya…….
“Sst. Jangan menangis. Mulai hari ini kau tinggal di gedung besar, nak. Tidak lagi digubuk. Kau tak lagi buang air di pantai. Kau tak lagi menjahit layar dan jala, tapi sutera, nak. Sst, ssst. Jangan nangis.”(Gadis Pantai,hal 12)

Dari kutipan diatas kita bisa mengetahui bahwa Gadis Pantai yang masih berumur 14 tahun dinikahkan dengan orang yang sebelumnya tidak pernah dikenalnya. namun karena desakan dan paksaan dari orang tuanya dengan anggapaan setelah menikah kehidupannya menjadi lebih baik dan drajat orang tuanya juga bisa terangkat.
Ø  Kekecewaan
“ia terisak-isak, tersedan, akhirnya melolong. Ia tak pernah merasa miskin dalam empatbelas tahun ini”.(Gadis pantai,hal 13)

Dari kutipan diatas kita bisa tahu bahwa timbul perasaan kecewa terhadap orangtuanya karena begitu menginginkan anaknya menikah dengan seorang bendoro,walaupun keinginan orangtuanya itu pada akhirnya ia laksanakan.
Ketika Gadis Pantai mendapat kesempatan mengunjungi orang tuanya di kampung nelayan, ia justru menemukan kekecewaan. Ia tidak lagi diterima sebagai orang kebanyakan, tetapi disanjung dan dihormati sebagai priyayi. Hal ini membuat Gadis Pantai merasa asing di kampungnya sendiri. Sepertinya telah ada jarak yang jauh antara dirinya dengan orang-orang kampung, termasuk orang tuanya sendiri.

Ø  Pengabdian
Sebagai seorang istri Gadis pantai telah mematuhi segala hal yang di inginkan oleh suaminya walaupun dia harus kehilangan hak-haknya.seperti dia tidak diperkenankan untuk menyambut tamu dari bendoro, hanya boleh berada di ruang belakang dan ketika ia melahirkan seorang anak perempuan dan harus meninggalkan anaknya karena perintah dari bendoro ia pun kemudian melakukannya.
Ø  Amanah
“Jangan main bola! Haram! Haram! Tak ingat pesan Ayahanda? Itu perbuatan terkutuk orang-orang murtad. Ingat! Kepala Hasan-Husin yang mereka tendang! Apa Agus mau jadi kaafir juga?”(hal 21)

Dari kutipan diatas kita tahu bahwa ada sebuah pesan tersendiri yang disampaikan oleh seorang Simbok kepada anaknya.

Berikut ini adalah persamaan dan perbedaan motif-motif cerita yang terdapat di dalam novel Pengakuan Pariyem dan novel Gadis Pantai, yaitu:
Motif Cerita
Persamaan
Perbedaan
Pengembaraan
Sama-sama meninggalkan kampung halamannya utuk mencari kehidupan yang lebih baik

Pada novel Pengakuan Pariyem, tokoh pariyem pergi dari kampung halamannya untuk menjadi babu di nDalem kasuryamentaraman Ngayogyakarta. Sedangkan dalam Novel Gadis Pantai, tokoh Gadis pantai pergi dari kampungnya untuk menjadi istri dari bendoro yang merupakan seorang priyayi.
Pengakuan
Hanya ada dalam novel Pengakuan Pariyem
-           
Paksaan
Ada dalam novel Gadis Pantai
-           
Kekecewaan
Ada dalam novel Gadis Pantai
-           
Pengabdian
Sama-sama nengabdikan dirinya untuk orang yang di hormatinya.

Di dalam novel Pengakuan pariyem dibuktikan dengan ia yang sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono pariyem telah melakukan 3k (karsa, kerja, dan karya), melakukan 3L (lirih, laras, dan lurus). Sedangkan dalam novel Gadis pantai dibuktikan dengan ia sebagai istri dari bendoro yang selalu siap untuk melakukan apapun yang di kehendaki oleh bendoro.
Kutipannya :
”Sahaya bendoro.”
“kamar ruang tengah sebelah belakang harus disusun rapi. Lemari-lemari harus dibenai dengan kapur barus. Meja rias harus lengkap dengan bedak, minyak, celak, sisir, minyak rambut. Jangan ada terlupa satu pun.”
“Sahaya, Bendoro.”
“Sahaya boleh berangkat, Bendoro?”
………………………….
Bendoro terdiam, Gadis Pantai mengangkat sembah dan meneruskn, “ya, sahaya pergi.”(hal 242)
Memberi amanat
Sama-sama memberikan sebuah pesan pembelajaran kepada anaknya.
Dari novel Pengakuan Pariyem amanah yang diberikan oleh nDoro kanjeng diungkapkan saat kejadian sudah dialami.
Kutipannya:
“….Pengakuan adalah bahasa masa lalu
Tindakan adalah bahasa masa kini
Hidup tak cukup dengan pengakuan
Tetapi perlu kerja yang dihayati
Dengan pengakuan dan dengan tindakan
Semua laku yang menyimpan hikmah asasi…”
Sedangkan dalam novel Gadis Pantai,pesan tersebut diberikan sebelum kejadian itu berlangsung. Kutipannya:
“Jangan main bola! Haram! Haram! Tak ingat pesan Ayahanda? Itu perbuatan terkutuk orang-orang murtad. Ingat! Kepala Hasan-Husin yang mereka tendang! Apa Agus mau jadi kaafir juga?”


Ø  Tema cerita
Persamaan antara novel Pengakuan Pariyem dan Gadis Pantai adalah sama-sama temanya mengarah kepada kehidupan wanita jawa. Sedangkan untuk perbedaannya belum di temukan.
Ø  Tokoh dan Latar.
Analisis tokoh dan latar novel Pengakuan Pariyem dan novel Gadis Pantai adalah sebagai berikut:


No.
Unsur Pembanding (Tokoh dan Latar)
Novel
Pengakuan Pariyem
Gadis Pantai
1.       
Tokoh



1.      Tokoh manusia laki-laki
Ada
Raden Bagus Ario Atmojo, Kliwon, Kanjeng Cokro Sentono, Pairin.
Ada
Bapak, Bendoro,  Agus Rahmat, Mardi.

2.      Tokoh manusia perempuan
Ada
Pariyem, Painem, nDoro Ayu, nDoro Putri Wiwit setiawati, endah Sri Setianingsih.
Ada
Gadis Pantai, emak, Simbok, Mardinah.

2.       
Latar



1.      Rumah
Ada
Ada

2.      Pesisir pantai
Tidak ada
Ada

3.      Toko
Ada
Tidak ada

4.      Pasar
Ada
Ada

5.      Kendaraan
Ada
Ada

6.      Gedung
Ada
Ada

7.      Desa
Ada
Ada

8.      Kamar
Ada
Ada

Ø  Waktu pembuatan novel Pengakuan Pariyem adalah pada tahun 1999, di mana cetakan pertama pada juni 2009 dan waktu terjadinya peristiwa pada novel tersebut sekitar tahun 1990-an, hal ini terlihat pada kutipan :
“Ya, ya, Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem lengkapnya
“iyem”panggilan sehari-harinya
Dari Wonosari Gunung Kidul
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
Di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta”

“Ada tetangga didekat rumah sahabat rembugan Den Bagus Ario Atmojo”
“Doa keselamatan bagi Simbok yang mlahirkan…”

Dari kutipan tersebut kita tahu bahwa pada masa itu panggilan yang digunakan semacam ( nDoro,den,Simbok dan sebagainya )yang mana unsur dari budaya jawa sendiri masih kental pada masa itu.
Waktu pembuatan novel Gadis Pantai adalah pada tanggal 2003 dan waktu terjadinya peristiwa pada novel tersebut sekitar abad 19-an, dibuktikan dengan kutipan berikut.
“juga Gadis Pantai tau siapa Den-ajeng Tini. Kartini yang beberapa tahun yang lalu dalam bendi agung memasuki perbatasan kota, dan semua penduduk disuruh lurah menyambutnya sepanjang jalan, dengan bendera tiga warna kertas berkibaran ditangan coklat hitam mereka”(Gadis pantai,hal 70-71)

Dari kutipan tersebut terlihat waktu dimana R.A Katrini dihormati masyarakatnya dan waktu terpaut hanya beberapa tahun dari cerita gadis pantai tersebut sehingga diduga cerita tersebut menggambarkan keadaan pada abad 19-an.
Kutipan lain :

“jangan lagi kedapur Mas Nganten”
“…..Bendoro sibuk sekali, Mas Nganten. Bendoro Bupati bakalnya kawin lagi dengan putri kraton solo. Kasihan mendiang Den-ajeng Tini. Begitu berani. Siapa lebih berani dari beliau? Menghadapi Belanda mana saja tidak takut. Pembesar-pembesar sendiri pada hormat( Gadis Pantai,hal 70).

Dari kutipan tersebut memperkuat kutipan sebelumnya, yang mana pada masa itu Belanda pun masih berkuasa sehingga memang benar diduga sekitar abad 19-an. Dan dari segi panggilannya juga masih menggunakan Den-ajeng, Bendoro, Mas Nganten yang disitu masih terasa kental budaya jawa Kratonnya.
·         Sudut Pandang.

Ø  Sudut pandang penokohan yang digunakan di dalam novel Pengakuan Pariyem adalah sudut pandang orang pertama. Tokoh utama di dalam novel tersebut adalah Pariyem. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan berikut ini:
“Ya, ya, Pariyem saya
Saya lahir diatas amben bertikar”(Pengakuan Pariyem,hal 2)

“Asih, Asah, dan Asuh
Dan saya sudah 3A sebagai babu,kok”(Pengakuan Pariyem,hal 29)

Kutipan di atas menunjukkan penggunaan sudut pandang orang pertama. Hal itu dibuktikan dengan digunakannya kata saya.

Ø  Sudut pandang penokohan yang digunakan di dalam novel Gadis Pantai adalah sudut pandang persona ketiga. Tokoh utama di dalam novel tersebut adalah Gadis Pantai. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan berikut ini:
“ Sebenarnya Gadis Pantai ingin mengetahui pasti, kemana saja Bendoro pergi bila meninggalkan rumah berhari-hari lamanya”(Gadis Pantai,hal 87).

Kutipan di atas menunjukkan penggunaan sudut pandang persona ketiga. Hal itu dibuktikan dengan digunakannya nama orang, yakni Gadis Pantai dan Bendoro.
·         Ragam Bahasa.
Ø  Ragam bahasa yang digunakan di dalam novel Pengakuan Pariyem adalah ragam bahasa Indonesia. Hal ini bisa ditunjukkan dari kutipan:
“Bila saya hanyut demikian
Rasa getir benar kasunyatan hidup
Saya lemas, tak mau apa-apa
Kemauan hilang dari gelora dada”.

Ø  Ragam bahasa yang digunakan di dalam novel Gadis Pantai adalah ragam bahasa Indonesia-melayu. Hal ini bisa ditunjukkan dari kutipan:
“Sahaya, Mas Nganten. Sahaya suka pada bocah. Entah sudah berapa bocah saya besarkan”.

Ragam tersebut ditunjukkan dengan panggilan Sahaya untuk seorang pelayan.

Dari pembahasan yang telah dipaparkan, penulis dapat menyimpulkan :
Ø  Motif yang terdapat dalam Novel Pengakuan Pariyem dan Gadis Pantai masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Motif yang terdapat pada kedua novel tersebut yaitu motif pengembaraan, motif pengabdian dan motif amanat.
Ø  Tema dari kedua novel tersebut memiliki kesamaan yaitu mengenai kehidupan seorang wanita jawa. Dari segi latar masing-masing memiliki latar tempat yang berbeda namun juga terdapat kesamaan latar seperti rumah, pasar, kendaraan, gedung, desa, kamar. Begitu pula segi tokohnya, kedua novel tersebut memiliki tokoh laki-laki dan tokoh perempuan.
Ø  Dimensi waktu antara novel Pengakuan Pariyem dan novel Gadis Pantai hampir sama, yaitu sekitar abad 19-an.
          Penulis melihat bahwa dalam pengerjaan dan penulisan tugas ini dirasa masih kurang sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik sekaligus saran dari pembaca untuk memperbaiki pekerjaan ini.

Ananta Toer, Pramoedya. 2003. Gadis Pantai. Jakarta Timur: Lentera Dipantara
Sukadaryanto. 2010. Sastra Perbandingan. Semarang: Griya Jawi
Supriyanto,Teguh. 2011. Handout Teori Sastra. Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni-Unnes
Suryadi AG, Linus. 2009. Pengakuan Pariyem. Jakarta: KPG
Zaimar, Okke K.S. 2013. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra. Depok: PT KOMODO BOOKS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar