ANALISIS PERBANDINGAN NOVEL PENGAKUAN PARIYEM
DAN NOVEL GADIS PANTAI
Oleh : Iánatul
Khikmah
PENDAHULUAN
Sastra adalah aktifitas bahasa yang membicarakan sesuatu
hal berarti hal yang lain. Istilah sastra yang kita kenal berhubungan dengan
institusi, karya sastra, dan ilmu sastra. Namun
demikian, sebenarnya ketiga bidang tersebut saling berhubungan dan berurusan
dengan karya sastra. Institusi seperti jurusan sastra dan fakultas sastra
mendidik mahasiswa untuk belajar sastra. Kegiatan mahasiswa tersebut
berhubungan dengan ilmu sastra dan karya sastra(Teguh Supriyanto,2011:08).
Sastra sebagai ekspresi seni bahasa yang selain menjadi refleksi bagi
seseorang juga mampu menjadikan perubahan-perubahan, baik perubahan arah bangsa
untuk menjadi lebih baik juga mampu menjadi inspirasi ataupun motivasi untuk
mampu melakukan perubahan kearah sosial budaya yang menitik beratkan
masyarakat.
Karya sastra yang kita tahu sangat banyak
sekali. Namun perlu kita ketahui bahwa didalam karya sastra juga terdapat
beberapa unsur-unsur yang memperkuat cerita didalamnya. Selain unsur-unsur
dalam karya sastra juga terdapat persamaan dan perbedaan dari masing-masing
karya sastra.
Dari paparan yang ada
di atas, penulis bermaksud akan membandingkan
karya sastra berbentuk novel dengan judul “Pengakuan Pariyem” karya
Linus Suryadi dan novel “Gadis Pantai” karya Pramoedya Ananta Toer. Dari
perbandingan kedual novel tersebut diharapkan dapat diketahui perbandingan
keduanya baik dari segi motif cerita, unsur-unsur pembangun yang ada dalam
cerita maupun dimensi dalam novel tersebut.
LANDASAN
TEORITIS
Sastra dalam
perkembangannya terbagi dalam dua bentuk yaitu sastra lisan dan sastra tulis.
Didalam membandingkan karya sastra baik dua karya sastra atau lebih bisa
menggunakan teori sastra( Sukadaryanto,2010:99 ).
Pada hakikatnya, sastra
perbandingan adalah membandingkan antara dua karya sastra atau lebih dalam
kurun waktu yang berbeda atau dalam waktu yang bersamaan. Sastra perbandingan
masih termasuk dalam wilayah kritik sastra. Dalam memperbandingkan karya-karya
sastra ini adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam
karya sastra tersebut ( Sukadaryanto,2010:101 ).
Suatu penelitian akan
selalu menggunakan pendekatan. Menurut Abrams ( dalam Teeuw, 1988:49-50)
memahami karya sastra dapat melalui empat pendekatan, yaitu : (1) pendekatan ekspresif,
(2) pendekatan objektif, (3) pendekatan mietik, dan (4)
pendekatan pragmatik.
Riffaterre (1978:11)
menyatakan bahwa teks baru bermakna penuh jika dikaitkan dengan konteks
kesejarahan yang sering kali berhubungan dengan teks lain melalui hubungan yang
disebut hypogram. Disamping faktor kesejarahan, kutipan Kristeva dan Riffaterre
tersebut menyiratkan pentingnya peran pembaca dalam pemaknaan.
Pemahaman mengenai dunia interteks ini bukan hanya
terbatas pada dunia sastra. Yang dimaksud
teks ini adalah persoalan hidup dan kehidupan di masyarakat. Karya sastra
merupakan interteks dari beberapa teks yang ada sebelum karya sastra itu
tercipta. Teks-teks itu memberikan kontribusi pada alam piker pengarang, untuk
ditampilkan pada karyanya, sebab teks-teks sebelumnya ini merupakan suatu
bentuk inspirasi yang akan melahirkan karya sastra(Sukadaryanto,2010:7).
Dalam sudut
pandang pembaca, Kristeva (Culler, 1975:139; lihat pula Teew,1984:146)
memandang bahwa teks sastra terjadi karena kutipan-kutipan ( intertekstual )
dari teks-teks lain. Teks baru dapat dipahami jika pembaca mampu membaca
teks-teks yang ada dalam teks itu, atau dalam istilah Riffaterre (1978) jika
pembaca mampu menemukan hipogram daari teks itu serta idologi-ideologi apa saja
yang ada dalam teks (Teguh Supriyanto,2010:39-40).
Dunia
intertekstual selalu mewarnai perkembangan dalam warna kehidupan sastra. Leih
kuat lagi bahwa unsur-unsur pembangun karya sastra itu masih memiliki benang
merah dengan karya sastra yang lahir sebelumnya.
Kemasan di
dalam interteks selalu beraneka ragam dan akan diselaraskan dengan situasi
keberadaan karya sastra itu. Perkembangan itu akan tampak pada penggunaan
bahasa, model penceritaan, konsep-konsep, dan ideology pada karya sastra yang
lahir kemudian. Prinsip intertekstual itu ada karena didasari oleh adanya
pengaruh teks-teks yang lahir sebelumnya dan menjadikan pijakan untuk terciptanya
karya sastra. Pengaruh ini sangat kuat dan tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip
intertekstual selalu mewarnai kelahiran karya sastra
berikutnya(Sukadaryanto,2010:7-8).
Untuk memahami
teks sastra, langkah paling awal adalah melakukan analisis terhadap teks.
Ada beberapa metode analisis, namun disini penulis
menggunakan metode struktural semiotik. Metode ini sebenarnya adalah metode
semiotik yang menggunakan prinsip-prinsip struktural untuk memperoleh analisis
semendetail mungkin. Istilah pendekatan ini dalam sastra Indonesia dimunculkan
oleh Pradopo (1993). Asumsi dasar metode ini adalah bahwa karya sastra
merupakan bangun struktur yang masing-masing unsurnya saling kait mengkait.
Oleh karena itu, untuk memahami keseluruhan teks harus dipahami bagian demi
bagian dalam keterjalinan semendetail mungkin.
Metode perbandingan yang penulis gunakan adalah metode perbandingan
Sinkronik. Metode ini penulis gunakan karena antara novel Pengakuan Pariyem dan
novel Gadis Pantai memiliki periode yang sama. Hal tersebut dibuktikan didalam
cerita dari kedua novel tersebut sama-sama menekankan terhadap masa yang mana
unsur dari Budaya Jawa itu sendiri masih kental.
HYPOGRAM
DAN TRANSFORMASI
Hypogram dari teks cerita novel yang dibandingkan adalah novel Gadis
Pantai. Berikut kutipannya:
“Bendoro sibuk sekali, Mas Nganten. Bendoro
Bupati bakalnya kawin lagi dengan putri kraton Solo. Kasihan mendiang Den-ajeng
Tini. Siapa lebih berani dari beliau? Menghadapi Belanda mana saja tidak takut.
Pembesar-pembesar sendiri pada hormat.”
“juga Gadis Pantai sekarang tahu siapa
Den-ajeng Tini. Kartini yang beberapa tahun yang lalu dalam bendi agung
memasuki perbatasan kota, dan semua penduduk disuruh lurah menyambutnya
sepanjang jalan, dengan bendera tiga warna kertas berkibaran ditangan coklat
hitam mereka”.(Gadis pantai,hal:70-71).
Novel Gadis Pantai dijadikan sebagai Hipogramnya karena perjalanan
ceritanya mengarah pada masa abad ke 19-an yang mana dibuktikan dengan keadaan
bahwa pada masa itu R.A Kartini masih hidup dalam beberapa tahun sebelumnya
dari cerita tersebut. Sedangkan teks
yang berkedudukan sebagai Transformasinya adalah novel Pengakuan
Pariyem. Pada novel pengakuan hanya disinggung segi kebudayaan jawa dan lokasi
cerita yang mendominasi di Kraton, namun tidak disinggung mengenai keadaan yang
menyatakan usia dari cerita tersebut.
ANALISIS PERBANDINGAN
NOVEL PENGAKUAN PARIYEM DAN NOVEL GADIS PANTAI
Berikut ini adalah motif cerita yang ada dalam novel Pengakuan
Pariyem
Ø Pengembaraan
Dalam novel ini pengembaraan digambarkan yaitu sosok pariyem yang
dari Wonosari Gunung Kidul pergi ke Ngayogyakarta dan menjadi babu di nDalem
Suryamentaraman Ngayogyakarta. Ada salah satu tokoh lagi yang digambarkan yaitu
Kliwon. Kliwon yang juga berasal dari Wonosari tapi kini mengubah nasibnya ke
Jakarta. Dibuktikan dengan kutipan prosa lirik berikut.
“. . .Macul pekerjaan sehari-harinya
Sekolah tamat sampai SD saja
Tapi kini tinggal di kota jutaan jakarta . . .”
Ø Pengakuan
Pariyem yang awalnya takut mengatakan bahwa ia telah melakukan
hubungan dengan anak majikannya dan sampai hamil, namun karena saat itu ia
tiba-tiba muntah dan majikannya menanyakan apa yang sedang dirasakan oleh
pariyem, akhirnya pariyem sedikit demi sedikit mengatakan apa yang telah
terjadi.
Kutipan prosa liriknya sebagai berikut(hal 181- hal 182)
“ Kowe sayang sama wiwit to, yu
Saya pun sayang sama yu pariyem
Katakan, yu, lelaki yang menggaulimu
Nanti yu iyem saya bela, tanggung!
…………………………...........
Sebagaimana nDoro putri percaya sama saya
Demikianpun saya blaka sama nDoro putri
Saya hanya menyebut nama panggilan……”
Ø Pengabdian
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono pariyem telah melakukan 3k
(karsa, kerja, dan karya), melakukan 3L (lirih, laras, dan lurus), dan walaupun
saat itu ia telah mengandung dan melahirkan anak dari majikannya dan yang mana
dia menjadi bagian dari keluarga itu, tapi ia tetap menjalankan pekerjaannya
yaitu menjadi babu di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta.
Ø Amanat
“….Pengakuan adalah bahasa masa lalu
Tindakan adalah bahasa masa kini
Hidup tak cukup dengan pengakuan
Tetapi perlu kerja yang dihayati
Dengan pengakuan dan dengan tindakan
Semua laku yang menyimpan hikmah asasi…”
Ini adalah salah satu kutipan yang dikatakan oleh nDoro kanjeng
yang merupakan majikan dari pariyem ketika mengetahui hal yang telah dilakukan
oleh babu dan anaknya sendiri yaitu Ario.
·
Berikut
ini adalah motif cerita yang ada dalam novel Gadis Pantai
Ø Pengembaraan
“Emak membuang muka, melalui jendela dokar ke arah laut yang
menghidupinya sepanjang umur. Tak mampu ia nyatakan, ia menangis melihat
anaknya keluar selamat dari kampung nelayan jadi wanita terhormat, tak perlu
berkeringat, tak perlu berlari-larian mengangkat ikan jemuran bila rintik hujan
mulai membasuh bumi”(Gadis Pantai hal 14)
Hal ini merupakan bagian kutipan ketika Gadis Pantai menikah dengan
seorang Priyayi yang bernama Bendoro dan kemudian meninggalkan kampung
halamannya untuk tinggal bersama dengan suaminya.
Ø Paksaan
Ini adalah beberapa kutipan dalam novel Gadis Pantai yang
menggambarkan suasana saat ia akan dinikahkan dengan bendoro
“ “Sst.
Jangan nangis. Jangan nangis. Hari ini kau jadi istri pembesar”.
Ia tak tahu apa yang dihadapannya. Ia hanya
tahu ia kehilangan seluruh hidupnya…….
“Sst. Jangan menangis. Mulai hari ini kau
tinggal di gedung besar, nak. Tidak lagi digubuk. Kau tak lagi buang air di
pantai. Kau tak lagi menjahit layar dan jala, tapi sutera, nak. Sst, ssst.
Jangan nangis.”(Gadis Pantai,hal 12)
Dari kutipan diatas kita bisa mengetahui bahwa
Gadis Pantai yang masih berumur 14 tahun dinikahkan dengan orang yang
sebelumnya tidak pernah dikenalnya. namun karena desakan dan paksaan dari orang
tuanya dengan anggapaan setelah menikah kehidupannya menjadi lebih baik dan drajat
orang tuanya juga bisa terangkat.
Ø Kekecewaan
“ia terisak-isak, tersedan, akhirnya melolong.
Ia tak pernah merasa miskin dalam empatbelas tahun ini”.(Gadis pantai,hal 13)
Dari kutipan diatas kita bisa tahu bahwa timbul
perasaan kecewa terhadap orangtuanya karena begitu menginginkan anaknya menikah
dengan seorang bendoro,walaupun keinginan orangtuanya itu pada akhirnya ia
laksanakan.
Ketika Gadis Pantai mendapat kesempatan
mengunjungi orang tuanya di kampung nelayan, ia justru menemukan kekecewaan. Ia
tidak lagi diterima sebagai orang kebanyakan, tetapi disanjung dan dihormati
sebagai priyayi. Hal ini membuat Gadis Pantai merasa asing di kampungnya
sendiri. Sepertinya telah ada jarak yang jauh antara dirinya dengan orang-orang
kampung, termasuk orang tuanya sendiri.
Ø Pengabdian
Sebagai seorang istri Gadis pantai telah mematuhi segala hal yang
di inginkan oleh suaminya walaupun dia harus kehilangan hak-haknya.seperti dia
tidak diperkenankan untuk menyambut tamu dari bendoro, hanya boleh berada di ruang
belakang dan ketika ia melahirkan seorang anak perempuan dan harus meninggalkan
anaknya karena perintah dari bendoro ia pun kemudian melakukannya.
Ø Amanah
“Jangan main bola! Haram! Haram! Tak ingat pesan Ayahanda? Itu
perbuatan terkutuk orang-orang murtad. Ingat! Kepala Hasan-Husin yang mereka
tendang! Apa Agus mau jadi kaafir juga?”(hal 21)
Dari kutipan diatas kita tahu bahwa ada sebuah pesan tersendiri
yang disampaikan oleh seorang Simbok kepada anaknya.
Berikut ini adalah persamaan dan
perbedaan motif-motif cerita yang terdapat di dalam novel Pengakuan Pariyem dan
novel Gadis Pantai, yaitu:
Motif Cerita
|
Persamaan
|
Perbedaan
|
Pengembaraan
|
Sama-sama meninggalkan kampung halamannya utuk
mencari kehidupan yang lebih baik
|
Pada novel Pengakuan Pariyem, tokoh pariyem pergi
dari kampung halamannya untuk menjadi babu di nDalem kasuryamentaraman
Ngayogyakarta. Sedangkan dalam Novel Gadis Pantai, tokoh Gadis pantai pergi
dari kampungnya untuk menjadi istri dari bendoro yang merupakan seorang
priyayi.
|
Pengakuan
|
Hanya ada dalam novel Pengakuan Pariyem
|
-
|
Paksaan
|
Ada dalam novel Gadis Pantai
|
-
|
Kekecewaan
|
Ada dalam novel Gadis Pantai
|
-
|
Pengabdian
|
Sama-sama nengabdikan dirinya untuk orang yang di
hormatinya.
|
Di dalam novel Pengakuan pariyem dibuktikan
dengan ia yang sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono pariyem telah
melakukan 3k (karsa, kerja, dan karya), melakukan 3L (lirih, laras, dan
lurus). Sedangkan dalam novel Gadis pantai dibuktikan dengan ia sebagai istri
dari bendoro yang selalu siap untuk melakukan apapun yang di kehendaki oleh
bendoro.
Kutipannya :
”Sahaya bendoro.”
“kamar ruang tengah sebelah belakang harus
disusun rapi. Lemari-lemari harus dibenai dengan kapur
barus. Meja rias harus
lengkap dengan bedak, minyak, celak, sisir, minyak rambut. Jangan ada terlupa
satu pun.”
“Sahaya, Bendoro.”
“Sahaya boleh berangkat, Bendoro?”
………………………….
Bendoro terdiam, Gadis Pantai mengangkat sembah
dan meneruskn, “ya, sahaya pergi.”(hal 242)
|
Memberi amanat
|
Sama-sama memberikan sebuah pesan pembelajaran
kepada anaknya.
|
Dari novel Pengakuan Pariyem amanah yang
diberikan oleh nDoro kanjeng diungkapkan saat kejadian sudah dialami.
Kutipannya:
“….Pengakuan adalah bahasa masa lalu
Tindakan adalah bahasa masa kini
Hidup tak cukup dengan pengakuan
Tetapi perlu kerja yang dihayati
Dengan pengakuan dan dengan tindakan
Semua laku yang menyimpan hikmah asasi…”
Sedangkan dalam novel Gadis Pantai,pesan tersebut
diberikan sebelum kejadian itu berlangsung. Kutipannya:
“Jangan main bola! Haram! Haram! Tak ingat pesan
Ayahanda? Itu perbuatan terkutuk orang-orang murtad. Ingat! Kepala
Hasan-Husin yang mereka tendang! Apa Agus mau jadi kaafir juga?”
|
Ø Tema cerita
Persamaan antara novel Pengakuan Pariyem dan Gadis Pantai adalah
sama-sama temanya mengarah kepada kehidupan wanita jawa. Sedangkan untuk
perbedaannya belum di temukan.
Ø Tokoh dan Latar.
Analisis tokoh dan latar novel Pengakuan Pariyem dan novel Gadis
Pantai adalah sebagai berikut:
No.
|
Unsur Pembanding (Tokoh dan Latar)
|
Novel
|
|
Pengakuan
Pariyem
|
Gadis Pantai
|
||
1.
|
Tokoh
|
|
|
|
1.
Tokoh manusia laki-laki
|
Ada
Raden Bagus Ario Atmojo, Kliwon, Kanjeng Cokro Sentono, Pairin. |
Ada
Bapak, Bendoro, Agus Rahmat, Mardi. |
|
2.
Tokoh manusia perempuan
|
Ada
Pariyem, Painem, nDoro Ayu, nDoro Putri Wiwit setiawati, endah Sri Setianingsih. |
Ada
Gadis Pantai, emak, Simbok, Mardinah. |
2.
|
Latar
|
|
|
|
1.
Rumah
|
Ada
|
Ada
|
|
2.
Pesisir
pantai
|
Tidak
ada
|
Ada
|
|
3.
Toko
|
Ada
|
Tidak
ada
|
|
4.
Pasar
|
Ada
|
Ada
|
|
5.
Kendaraan
|
Ada
|
Ada
|
|
6.
Gedung
|
Ada
|
Ada
|
|
7.
Desa
|
Ada
|
Ada
|
|
8.
Kamar
|
Ada
|
Ada
|
Ø Waktu pembuatan novel Pengakuan Pariyem adalah pada tahun 1999, di
mana cetakan pertama pada juni 2009 dan waktu terjadinya peristiwa pada novel tersebut
sekitar tahun 1990-an, hal ini terlihat pada kutipan :
“Ya, ya, Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem lengkapnya
“iyem”panggilan sehari-harinya
Dari Wonosari Gunung Kidul
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
Di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta”
“Ada tetangga didekat rumah sahabat rembugan Den Bagus Ario Atmojo”
“Doa keselamatan bagi Simbok yang mlahirkan…”
Dari kutipan tersebut kita tahu bahwa pada masa itu panggilan yang
digunakan semacam ( nDoro,den,Simbok dan sebagainya )yang mana unsur dari
budaya jawa sendiri masih kental pada masa itu.
Waktu pembuatan novel Gadis Pantai
adalah pada tanggal 2003 dan waktu terjadinya peristiwa pada novel tersebut
sekitar abad 19-an, dibuktikan dengan kutipan berikut.
“juga Gadis Pantai tau siapa Den-ajeng Tini.
Kartini yang beberapa tahun yang lalu dalam bendi agung memasuki perbatasan
kota, dan semua penduduk disuruh lurah menyambutnya sepanjang jalan, dengan
bendera tiga warna kertas berkibaran ditangan coklat hitam mereka”(Gadis
pantai,hal 70-71)
Dari kutipan tersebut terlihat waktu dimana
R.A Katrini dihormati masyarakatnya dan waktu terpaut hanya beberapa tahun dari
cerita gadis pantai tersebut sehingga diduga cerita tersebut menggambarkan
keadaan pada abad 19-an.
Kutipan lain :
“jangan lagi kedapur Mas Nganten”
“…..Bendoro sibuk sekali, Mas Nganten. Bendoro Bupati bakalnya
kawin lagi dengan putri kraton solo. Kasihan mendiang Den-ajeng Tini. Begitu
berani. Siapa lebih berani dari beliau? Menghadapi Belanda mana saja tidak
takut. Pembesar-pembesar sendiri pada hormat( Gadis Pantai,hal 70).
Dari kutipan tersebut memperkuat kutipan sebelumnya, yang mana pada
masa itu Belanda pun masih berkuasa sehingga memang benar diduga sekitar abad
19-an. Dan dari segi panggilannya juga masih menggunakan Den-ajeng, Bendoro,
Mas Nganten yang disitu masih terasa kental budaya jawa Kratonnya.
·
Sudut
Pandang.
Ø Sudut pandang penokohan yang digunakan di dalam novel Pengakuan
Pariyem adalah sudut pandang orang pertama. Tokoh utama di dalam novel tersebut
adalah Pariyem. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan berikut ini:
“Ya, ya, Pariyem saya
Saya lahir diatas amben bertikar”(Pengakuan Pariyem,hal 2)
“Asih, Asah, dan Asuh
Dan saya sudah 3A sebagai babu,kok”(Pengakuan Pariyem,hal 29)
Kutipan di atas menunjukkan penggunaan sudut pandang orang pertama.
Hal itu dibuktikan dengan digunakannya kata saya.
Ø Sudut pandang penokohan yang digunakan di dalam novel Gadis Pantai
adalah sudut pandang persona ketiga. Tokoh utama di dalam novel tersebut adalah
Gadis Pantai. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan berikut ini:
“ Sebenarnya Gadis Pantai ingin
mengetahui pasti, kemana saja Bendoro pergi bila meninggalkan rumah
berhari-hari lamanya”(Gadis Pantai,hal 87).
Kutipan di atas menunjukkan penggunaan sudut pandang persona
ketiga. Hal itu dibuktikan dengan digunakannya nama orang, yakni Gadis Pantai
dan Bendoro.
·
Ragam
Bahasa.
Ø Ragam bahasa yang digunakan di dalam novel Pengakuan Pariyem adalah
ragam bahasa Indonesia. Hal ini bisa ditunjukkan dari kutipan:
“Bila saya hanyut demikian
Rasa getir benar kasunyatan hidup
Saya lemas, tak mau
apa-apa
Kemauan hilang dari gelora dada”.
Ø Ragam bahasa yang digunakan di dalam novel Gadis Pantai adalah
ragam bahasa Indonesia-melayu. Hal ini bisa ditunjukkan dari kutipan:
“Sahaya, Mas Nganten. Sahaya suka pada
bocah. Entah sudah berapa bocah saya besarkan”.
Ragam tersebut ditunjukkan dengan
panggilan Sahaya untuk seorang pelayan.
Dari pembahasan yang telah dipaparkan, penulis
dapat menyimpulkan :
Ø Motif yang terdapat dalam Novel Pengakuan Pariyem dan Gadis Pantai
masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Motif yang terdapat pada kedua
novel tersebut yaitu motif pengembaraan, motif pengabdian dan motif amanat.
Ø Tema dari kedua novel tersebut memiliki kesamaan yaitu mengenai kehidupan
seorang wanita jawa. Dari segi latar masing-masing memiliki latar tempat yang
berbeda namun juga terdapat kesamaan latar seperti rumah, pasar, kendaraan,
gedung, desa, kamar. Begitu pula segi tokohnya, kedua novel tersebut memiliki
tokoh laki-laki dan tokoh perempuan.
Ø Dimensi waktu antara novel Pengakuan Pariyem dan novel Gadis Pantai
hampir sama, yaitu sekitar abad 19-an.
Penulis melihat bahwa dalam pengerjaan dan penulisan tugas ini
dirasa masih kurang sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik sekaligus
saran dari pembaca untuk memperbaiki pekerjaan ini.
Ananta
Toer, Pramoedya. 2003. Gadis Pantai. Jakarta Timur: Lentera Dipantara
Sukadaryanto. 2010. Sastra Perbandingan.
Semarang: Griya Jawi
Supriyanto,Teguh. 2011. Handout Teori Sastra. Semarang: Fakultas
Bahasa dan Seni-Unnes
Suryadi AG, Linus. 2009. Pengakuan Pariyem.
Jakarta: KPG
Zaimar,
Okke K.S. 2013. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra. Depok: PT KOMODO BOOKS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar